Selasa, 14 Januari 2014

Penolakan yang Mengherankan

Abu Gafur adalah seorang tokoh konglomerat besar yang tinggal di sebuah rumah yang indah di ibu kota bersama anak dan isterinya. Kelima anaknya semua perempuan, kecuali yang bungsu. Anak lelaki satu-satunya yang lahir belakangan itu diberi nama Rachmat Hidayat dan benar-benar merupakan sumber kebanggaan dan kebahagiaan Abu Gafur di hari tuanya. Betapa tidak, karena Pak Gafur sudah berumur 58 tahun pada waktu putranya dilahirkan. Ia sungguh tidak menyangka bahwa ia masih akan mendapatkan keturunan seorang anak lelaki.   
 
     Setelah menjadi besar, Rachmat rajin belajar di sekolah dan ia hormat sekali kepada ayahnya yang sudah lanjut usia itu. Ia berusaha untuk menyenangkan hati bapaknya, sampai-sampai ia selalu menanyakan pendapatnya sebelum melakukan sesuatu. Sebuah petunjuk dari hadits al-Bukhari, yang sering dikutip oleh guru agamanya, sungguh-sungguh dihayati olehnya: "Barangsiapa menghormati ayah dan ibunya akan diberkati, Allah akan memberi panjang umur kepadanya."

     Selanjutnya Abu Gafur menyekolahkan Rachmat di perguruan tinggi yang paling top di negeri itu. Rachmat pun tekun belajar dan berhasil menjadi mahasiswa dengan nilai terbaik. Ia sangat disegani oleh teman-teman sekolahnya, karena tidak pernah menyombongkan dirinya sebagai orang yang kaya. Dalam menjalankan ibadahnya pun ia tidak pernah lalai, jarang sekali ia lupa untuk bersembahyang.

Perkebunan yang menguntungkan
     Adapun sebagian kecil dari seluruh harta kekayaan Abu Gafur berasal dari keuntungan yang dihasilkan oleh sebuah proyek perkebunan karet di luar negeri. Perkebunan yang luasnya 180.000 hektar itu merupakan peninggalan almarhum ayahnya ketika mereka masih tinggal di luar negeri. Abu Gafur sendiri hijrah dari negeri itu pada usia 16 tahun, dan selanjutnya memilih tinggal di ibu kota. Ketika akan kembali dari perantauan, ia memberikan surat kuasa kepada saudara sepupunya untuk mengurus perkebunan itu, tetapi sejak itu ia tidak pernah kembali lagi ke sana.

     Perkebunan itu terletak di sebuah pulau, di sebuah lereng gunung yang berbatasan dengan pesisir pantai. Indah sekali pemandangan alam di tempat itu. Semua orang yang bekerja di perkebunan itu dilahirkan dan dibesarkan di pulau tersebut. Kebanyakan dari orang tua mereka juga dilahirkan dan dibesarkan di sana. Masing-masing keluarga di perkebunan telah mendapatkan kapling untuk rumah dan halaman mereka sendiri, tanpa harus membayar sepeser pun. Semuanya memiliki rumah sendiri. Sedemikian makmurnya keadaan mereka, sehingga kompleks perumahan mereka akhirnya berhasil mereka kembangkan menjadi sebuah kota kecil, yang dihuni oleh 1.000 kepala keluarga. Tentu saja, semuanya itu dimungkinkan hanya karena kemurahan dan kebaikan hati Abu Gafur, sebab sebagian besar penghasilan dari perkebunan besar itu tidak pernah dipungut olehnya sebagai pemilik. Hampir seluruh penghasilan dipakai untuk membiayai pembangunan perkotaan dan peningkatan kesejahteraan para buruh perkebunan. Abu Gafur hanya memungut lima persen dari keuntungan yang diperoleh, yang harus dikirim kepadanya sekali setahun. Baginya yang penting adalah bahwa seluruh pegawai perkebunan dapat menikmati hasil keringat mereka sendiri.

     Konon, setelah Rachmat menyelesaikan studinya di universitas, Pak Gafur menyuruhnya bekerja di salah satu perusahaannya. Di sini pun, Rachmat ternyata selalu menyenangkan hati bapaknya. Ia menjalankan tugas yang dipercayakan kepadanya dengan baik sekali. Ia benar-benar jujur dan adil, tidak pernah ia bertindak curang terhadap bawahannya. Ia selalu menghormati para pegawai dan memberikan imbalan yang pantas kepada mereka. Beberapa tahun kemudian, ketika Pak Gafur sudah menginjak usia 85 tahun, ia pun menyerahkan seluruh perusahaannya untuk dipimpin langsung oleh anaknya.

     Apa mau dikata, beberapa waktu kemudian saudara sepupu Abu Gafur meninggal dunia. Tetapi sejak semula Abu Gafur sudah meninggalkan pesan agar seluruh pegawai dan warga perkebunan segera memilih pengurus mereka sendiri. Demikianlah, pilihan warga jatuh kepada Poernomo, seorang penduduk pulau itu yang belum mengenal Abu Gafur. (Memang di antara penduduk pulau itu tidak ada seorang pun yang pernah bertemu dengan Abu Gafur. Bahkan fotonya pun belum pernah mereka lihat. Mereka pernah mendengar namanya, tetapi sama sekali tidak tahu siapakah dia sebenarnya).
Segala sesuatu berjalan lancar, sampai Pak Gafur memperhatikan bahwa tahun itu mereka belum menerima kiriman uang sebesar lima persen dari pembagian keuntungan perusahaan, sebagaimana lazimnya tiap akhir tahun. Karena pikirnya mungkin uang itu hilang dalam perjalanan, ia segera menyuruh Rachmat untuk menulis surat, menanyakan kepada pengurus perkebunan mengenai kiriman uang itu. Tetapi enam bulan berlalu tanpa ada jawaban. Akhirnya diputuskan agar Rachmat datang sendiri untuk memeriksa keadaan perkebunan tersebut. 

Anak sebagai utusan yang ditolak
     Setelah sampai di perkebunan karetnya di luar negeri, Rachmat segera menghubungi pengurus perkebunan. Mula-mula Poernomo, pimpinan perkebunan yang baru itu menyambut kedatangan Rachmat dengan cukup sopan. Ia mempersihlakan tamunya duduk di kantornya dan menghidangkan minuman teh kepadanya. Kemudian ia bertanya, "Bolehkah saya tahu, siapakah Saudara dan apa maksud kedatangan Saudara?" Rachmat menjawab, "Nama saya Rachmat Hidayat, putra Abu Gafur. Pak Gafur sudah terlalu tua sekarang, karena itu ia menyerahkan seluruh perusahaan keluarga kepada saya, sebagai anak laki-laki satu-satunya. Maksud kedatangan saya adalah untuk menanyakan mengenai pembagian keuntungan perusahaan yang belum kami terima untuk tahun ini." Ketika Poernomo mendengar hal itu, air mukanya langsung berubah. Lalu ia menjawab, "Kami sudah lama mendengar mengenai Abu Gafur, tetapi kami belum pernah mendengar nama Saudara. Sekarang Saudara mengaku sebagai anaknya, tetapi kami perlu melihat dulu buktinya!" Rachmat agak terkejut dengan perubahan sikap Poernomo yang tiba-tiba itu, tetapi ia menahan diri untuk tidak menjadi marah. Ia mengeluarkan surat yang telah disiapkan, yang ditandatangani oleh ayahnya, lengkap dengan cap perusahaan. Surat itu menyatakan bahwa Rachmat adalah putra Abu Gafur. Sejenak lamanya Poernomo membaca surat itu, tetapi kemudian ia berkata, "Saya belum percaya. Siapa tahu surat ini telah dipalsu. Nanti malam saya akan menyuruh seluruh karyawan untuk berkumpul, dan Saudara boleh bicara dengan mereka. Nanti kita akan melihat, apakah mereka percaya bahwa Saudara adalah putra Abu Gafur."

     Malam hari itu lebih dari 1.000 orang pegawai berkumpul. Poernomo memperkenalkan Rachmat Hidayat dan mengatakan bahwa Rachmat mengaku sebagai putra Abu Gafur. Selanjutnya Rachmat dipersihlakan untuk menjawab semua pertanyaan yang akan diajukan oleh para pekerja itu. Rachmat mulai dengan berkata bahwa ia membawa salam dari ayahnya, dan bahwa ia dan ayahnya mengharapkan mereka semua dalam keadaan baik-baik, dan bahwa baik ayahnya maupun ia sendiri merasa berterima kasih atas pekerjaan yang telah mereka lakukan di perkebunan selama ini. Kemudian ia memberitahukan mereka bahwa selama 69 tahun ini ayahnya telah menerima pembagian keuntungan sebesar lima persen setiap tahun, tetapi mulai sekarang Pak Gafur bersedia menurunkan hak tahunannya menjadi dua persen saja. Baru saja ia mengatakan demikian, tiba-tiba suasana menjadi gaduh karena orang-orang berteriak, "Tidak, Kami tidak percaya Saudara putra Abu Gafur! Jangan kira kami akan membayar Saudara, biar lima persen atau dua persen! Tidak sepeser pun akan kami berikan kepadamu! Ini adalah perkebunan milik kami sendiri! Kami tidak mengenal Saudara, kami juga tidak mengenal siapa itu Abu Gafur!" Suasana menjadi ribut sekali. Hati Rachmat menjadi ciut. Ia segera melangkah keluar dari gedung pertemuan, maksudnya untuk meninggalkan perkebunan dan meminta bantuan dari polisi setempat. Sementara ia berjalan menuju pintu keluar, orang-orang bersiul dan menyoraki dia, bahkan ada yang meludahinya. Belum sampai di pintu, seseorang memukul dia dan seorang yang lain menjatuhkan dia ke lantai. Lalu mereka beramai-ramai menyerang dia dan menginjak-injak badannya. Rachmat berteriak keras meminta mereka berhenti. Tetapi mereka tidak mau berhenti, bahkan ada yang menendang kepalanya dan mukanya, sehingga berlumuran darah. Beberapa saat kemudian Rachmat mati terkapar di lantai gedung itu. Ia menemui ajalnya, setelah diinjak-injak warga perkebunan yang serakah dan tidak mempunyai rasa terima kasih itu. Akhirnya semua orang pulang ke rumah mereka masing-masing.

     Demikianlah akhir yang menyedihkan dari kisah mengenai hartawan tua yang baik hati itu. Ia seorang yang begitu mencintai sesamanya. Ia telah melakukan begitu banyak kebaikan terhadap mereka. Tetapi betapa tega dan kejamnya penduduk pulau itu, sehingga mereka pada akhirnya menolak, bahkan membunuh anak kesayangannya yang satu-satunya itu.

     Saudara, sesungguhnya, ada sesuatu yang luar biasa dibalik ceritera ini, yang perlu Saudara ketahui. Tahukah Saudara, bahwa pada dasarnya Saudara dan penulis sendiri tidak begitu banyak berbeda dari orang-orang yang telah membunuh Rachmat Hidayat tadi? Seperti warga perkebunan itu, Allah telah memelihara diri kita dan keluarga kita dengan begitu baik selama ini, jauh lebih baik dari pada Abu Gafur menjamin kehidupan dan kesejahteraan para pegawai di perkebunannya.
Dan sebagaimana para pegawai perkebunan itu belum pernah melihat Abu Gafur, hartawan yang menjamin kehidupan mereka selama bertahun-tahun itu, demikian juga kita semua belum pernah melihat Allah.

Isa Al-Masih utusan Allah yang ditolak manusia
     Kita juga mempunyai persamaan dengan para pekerja perkebunan itu, oleh karena kita pun telah bersalah dan menolak utusan istimewa Allah. Siapakah utusan itu? Dengan menjelma sebagai manusia, Allah telah mendatangi dunia kita ini dalam ujud seorang manusia, yang bernama Isa Al-Masih, yaitu Kalam Allah. Kita menolak-Nya padahal kedatangan-Nya adalah untuk membantu kita, supaya hubungan kita dengan Allah yang terputus dapat diperbaiki kembali. Kedatangan-Nya ke dunia adalah untuk melunasi hutang dosa kita, untuk membebaskan kita dari belenggu dan perbudakan dosa. Tetapi umat manusia pada umumnya telah menolak Dia sebagai jembatan keselamatan untuk meninggalkan dosa. Sama seperti orang-orang Yahudi yang hidup 2.000 tahun yang lalu, yang langsung bertatap muka dengan Isa Al-Masih sendiri, kita yang hidup di masa kini juga telah menolak Dia. Bahkan kita enggan untuk mendengar mengenai peristiwa sejarah yang mencatat bahwa Ia telah mati disalibkan karena dosa-dosa kita. Pada hakekatnya, kebanyakan manusia tidak mau tunduk kepada kedaulatan Allah, yang diungkapkan melalui Isa Al-Masih itu.
Tetapi ada sesuatu yang dilakukan oleh Isa Al-Masih, yang tidak mungkin dilakukan oleh Rachmat Hidayat. Setelah mati di kayu salib dan dikuburkan selama tiga hari, akhirnya Isa Al-Masih bangkit dari alam maut. Kini Isa Al-Masih telah hidup kembali, dan selama 2.000 tahun belakangan ini Ia tiada henti-hentinya menghimbau supaya semua manusia bertobat dari dosa-dosa mereka dan menerima pertolongan-Nya sebagai Juruselamat, supaya terhindar dari hukuman api neraka yang kekal. Di dalam Injil yang Kudus, Al-Masih berkata: "Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka [yang menyambut Aku] dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tanganKu" (Injil Yohanes 10:28). Dikatakan juga di dalam Firman Allah, "Ia sendiri [Isa Al Masih] telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran...." (Surat I Petrus 2:24). Tetapi sampai sekarang pun, berjuta-juta orang di seluruh dunia masih tetap menolak Dia sebagai harapan dan jalan keluar mereka satu-satunya untuk diselamatkan dari kutuk dosa. Sungguh suatu penolakan yang mengherankan!

Sumber : http://www.isadanislam.com/

Unknown

Author & Editor

Has laoreet percipitur ad. Vide interesset in mei, no his legimus verterem. Et nostrum imperdiet appellantur usu, mnesarchum referrentur id vim.

0 komentar:

Posting Komentar

Berkomentar dengan baik untuk kemajuan dan penambahan wawasan kita.
tidak menerima komentar sara, pelecehan dan yang melanggar HAM dan privasi seseorang