Abu Gafur adalah seorang tokoh
konglomerat besar yang tinggal di sebuah rumah yang indah di ibu kota bersama
anak dan isterinya. Kelima anaknya semua perempuan, kecuali yang bungsu. Anak
lelaki satu-satunya yang lahir belakangan itu diberi nama Rachmat Hidayat dan
benar-benar merupakan sumber kebanggaan dan kebahagiaan Abu Gafur di hari
tuanya. Betapa tidak, karena Pak Gafur sudah berumur 58 tahun pada waktu
putranya dilahirkan. Ia sungguh tidak menyangka bahwa ia masih akan mendapatkan
keturunan seorang anak lelaki.
Setelah menjadi besar, Rachmat rajin
belajar di sekolah dan ia hormat sekali kepada ayahnya yang sudah lanjut usia
itu. Ia berusaha untuk menyenangkan hati bapaknya, sampai-sampai ia selalu
menanyakan pendapatnya sebelum melakukan sesuatu. Sebuah petunjuk dari hadits
al-Bukhari, yang sering dikutip oleh guru agamanya, sungguh-sungguh dihayati
olehnya: "Barangsiapa menghormati ayah dan ibunya akan diberkati, Allah
akan memberi panjang umur kepadanya."
Selanjutnya Abu Gafur menyekolahkan
Rachmat di perguruan tinggi yang paling top di negeri itu. Rachmat pun tekun
belajar dan berhasil menjadi mahasiswa dengan nilai terbaik. Ia sangat disegani
oleh teman-teman sekolahnya, karena tidak pernah menyombongkan dirinya sebagai
orang yang kaya. Dalam menjalankan ibadahnya pun ia tidak pernah lalai, jarang
sekali ia lupa untuk bersembahyang.
Perkebunan
yang menguntungkan
Adapun sebagian kecil dari seluruh
harta kekayaan Abu Gafur berasal dari keuntungan yang dihasilkan oleh sebuah
proyek perkebunan karet di luar negeri. Perkebunan yang luasnya 180.000 hektar
itu merupakan peninggalan almarhum ayahnya ketika mereka masih tinggal di luar
negeri. Abu Gafur sendiri hijrah dari negeri itu pada usia 16 tahun, dan
selanjutnya memilih tinggal di ibu kota. Ketika akan kembali dari perantauan,
ia memberikan surat kuasa kepada saudara sepupunya untuk mengurus perkebunan
itu, tetapi sejak itu ia tidak pernah kembali lagi ke sana.
Perkebunan itu terletak di sebuah
pulau, di sebuah lereng gunung yang berbatasan dengan pesisir pantai. Indah
sekali pemandangan alam di tempat itu. Semua orang yang bekerja di perkebunan
itu dilahirkan dan dibesarkan di pulau tersebut. Kebanyakan dari orang tua
mereka juga dilahirkan dan dibesarkan di sana. Masing-masing keluarga di
perkebunan telah mendapatkan kapling untuk rumah dan halaman mereka sendiri,
tanpa harus membayar sepeser pun. Semuanya memiliki rumah sendiri. Sedemikian
makmurnya keadaan mereka, sehingga kompleks perumahan mereka akhirnya berhasil
mereka kembangkan menjadi sebuah kota kecil, yang dihuni oleh 1.000 kepala
keluarga. Tentu saja, semuanya itu dimungkinkan hanya karena kemurahan dan
kebaikan hati Abu Gafur, sebab sebagian besar penghasilan dari perkebunan besar
itu tidak pernah dipungut olehnya sebagai pemilik. Hampir seluruh penghasilan
dipakai untuk membiayai pembangunan perkotaan dan peningkatan kesejahteraan
para buruh perkebunan. Abu Gafur hanya memungut lima persen dari keuntungan
yang diperoleh, yang harus dikirim kepadanya sekali setahun. Baginya yang
penting adalah bahwa seluruh pegawai perkebunan dapat menikmati hasil keringat
mereka sendiri.
Konon, setelah Rachmat menyelesaikan
studinya di universitas, Pak Gafur menyuruhnya bekerja di salah satu
perusahaannya. Di sini pun, Rachmat ternyata selalu menyenangkan hati bapaknya.
Ia menjalankan tugas yang dipercayakan kepadanya dengan baik sekali. Ia
benar-benar jujur dan adil, tidak pernah ia bertindak curang terhadap
bawahannya. Ia selalu menghormati para pegawai dan memberikan imbalan yang
pantas kepada mereka. Beberapa tahun kemudian, ketika Pak Gafur sudah menginjak
usia 85 tahun, ia pun menyerahkan seluruh perusahaannya untuk dipimpin langsung
oleh anaknya.
Apa mau dikata, beberapa waktu
kemudian saudara sepupu Abu Gafur meninggal dunia. Tetapi sejak semula Abu
Gafur sudah meninggalkan pesan agar seluruh pegawai dan warga perkebunan segera
memilih pengurus mereka sendiri. Demikianlah, pilihan warga jatuh kepada
Poernomo, seorang penduduk pulau itu yang belum mengenal Abu Gafur. (Memang di
antara penduduk pulau itu tidak ada seorang pun yang pernah bertemu dengan Abu
Gafur. Bahkan fotonya pun belum pernah mereka lihat. Mereka pernah mendengar
namanya, tetapi sama sekali tidak tahu siapakah dia sebenarnya).
Segala sesuatu berjalan lancar,
sampai Pak Gafur memperhatikan bahwa tahun itu mereka belum menerima kiriman
uang sebesar lima persen dari pembagian keuntungan perusahaan, sebagaimana
lazimnya tiap akhir tahun. Karena pikirnya mungkin uang itu hilang dalam
perjalanan, ia segera menyuruh Rachmat untuk menulis surat, menanyakan kepada
pengurus perkebunan mengenai kiriman uang itu. Tetapi enam bulan berlalu tanpa
ada jawaban. Akhirnya diputuskan agar Rachmat datang sendiri untuk memeriksa
keadaan perkebunan tersebut.
Anak
sebagai utusan yang ditolak
Setelah sampai di perkebunan
karetnya di luar negeri, Rachmat segera menghubungi pengurus perkebunan.
Mula-mula Poernomo, pimpinan perkebunan yang baru itu menyambut kedatangan
Rachmat dengan cukup sopan. Ia mempersihlakan tamunya duduk di kantornya dan
menghidangkan minuman teh kepadanya. Kemudian ia bertanya, "Bolehkah saya
tahu, siapakah Saudara dan apa maksud kedatangan Saudara?" Rachmat
menjawab, "Nama saya Rachmat Hidayat, putra Abu Gafur. Pak Gafur sudah
terlalu tua sekarang, karena itu ia menyerahkan seluruh perusahaan keluarga
kepada saya, sebagai anak laki-laki satu-satunya. Maksud kedatangan saya adalah
untuk menanyakan mengenai pembagian keuntungan perusahaan yang belum kami
terima untuk tahun ini." Ketika Poernomo mendengar hal itu, air mukanya
langsung berubah. Lalu ia menjawab, "Kami sudah lama mendengar mengenai
Abu Gafur, tetapi kami belum pernah mendengar nama Saudara. Sekarang Saudara
mengaku sebagai anaknya, tetapi kami perlu melihat dulu buktinya!" Rachmat
agak terkejut dengan perubahan sikap Poernomo yang tiba-tiba itu, tetapi ia
menahan diri untuk tidak menjadi marah. Ia mengeluarkan surat yang telah
disiapkan, yang ditandatangani oleh ayahnya, lengkap dengan cap perusahaan.
Surat itu menyatakan bahwa Rachmat adalah putra Abu Gafur. Sejenak lamanya
Poernomo membaca surat itu, tetapi kemudian ia berkata, "Saya belum
percaya. Siapa tahu surat ini telah dipalsu. Nanti malam saya akan menyuruh
seluruh karyawan untuk berkumpul, dan Saudara boleh bicara dengan mereka. Nanti
kita akan melihat, apakah mereka percaya bahwa Saudara adalah putra Abu
Gafur."
Malam hari itu lebih dari 1.000
orang pegawai berkumpul. Poernomo memperkenalkan Rachmat Hidayat dan mengatakan
bahwa Rachmat mengaku sebagai putra Abu Gafur. Selanjutnya Rachmat
dipersihlakan untuk menjawab semua pertanyaan yang akan diajukan oleh para
pekerja itu. Rachmat mulai dengan berkata bahwa ia membawa salam dari ayahnya,
dan bahwa ia dan ayahnya mengharapkan mereka semua dalam keadaan baik-baik, dan
bahwa baik ayahnya maupun ia sendiri merasa berterima kasih atas pekerjaan yang
telah mereka lakukan di perkebunan selama ini. Kemudian ia memberitahukan
mereka bahwa selama 69 tahun ini ayahnya telah menerima pembagian keuntungan
sebesar lima persen setiap tahun, tetapi mulai sekarang Pak Gafur bersedia
menurunkan hak tahunannya menjadi dua persen saja. Baru saja ia mengatakan
demikian, tiba-tiba suasana menjadi gaduh karena orang-orang berteriak,
"Tidak, Kami tidak percaya Saudara putra Abu Gafur! Jangan kira kami akan
membayar Saudara, biar lima persen atau dua persen! Tidak sepeser pun akan kami
berikan kepadamu! Ini adalah perkebunan milik kami sendiri! Kami tidak mengenal
Saudara, kami juga tidak mengenal siapa itu Abu Gafur!" Suasana menjadi
ribut sekali. Hati Rachmat menjadi ciut. Ia segera melangkah keluar dari gedung
pertemuan, maksudnya untuk meninggalkan perkebunan dan meminta bantuan dari
polisi setempat. Sementara ia berjalan menuju pintu keluar, orang-orang bersiul
dan menyoraki dia, bahkan ada yang meludahinya. Belum sampai di pintu,
seseorang memukul dia dan seorang yang lain menjatuhkan dia ke lantai. Lalu
mereka beramai-ramai menyerang dia dan menginjak-injak badannya. Rachmat
berteriak keras meminta mereka berhenti. Tetapi mereka tidak mau berhenti,
bahkan ada yang menendang kepalanya dan mukanya, sehingga berlumuran darah.
Beberapa saat kemudian Rachmat mati terkapar di lantai gedung itu. Ia menemui
ajalnya, setelah diinjak-injak warga perkebunan yang serakah dan tidak
mempunyai rasa terima kasih itu. Akhirnya semua orang pulang ke rumah mereka
masing-masing.
Demikianlah akhir yang menyedihkan
dari kisah mengenai hartawan tua yang baik hati itu. Ia seorang yang begitu
mencintai sesamanya. Ia telah melakukan begitu banyak kebaikan terhadap mereka.
Tetapi betapa tega dan kejamnya penduduk pulau itu, sehingga mereka pada
akhirnya menolak, bahkan membunuh anak kesayangannya yang satu-satunya itu.
Saudara, sesungguhnya, ada sesuatu
yang luar biasa dibalik ceritera ini, yang perlu Saudara ketahui. Tahukah
Saudara, bahwa pada dasarnya Saudara dan penulis sendiri tidak begitu banyak
berbeda dari orang-orang yang telah membunuh Rachmat Hidayat tadi? Seperti
warga perkebunan itu, Allah telah memelihara diri kita dan keluarga kita dengan
begitu baik selama ini, jauh lebih baik dari pada Abu Gafur menjamin kehidupan
dan kesejahteraan para pegawai di perkebunannya.
Dan sebagaimana para pegawai
perkebunan itu belum pernah melihat Abu Gafur, hartawan yang menjamin kehidupan
mereka selama bertahun-tahun itu, demikian juga kita semua belum pernah melihat
Allah.
Isa
Al-Masih utusan Allah yang ditolak manusia
Kita juga mempunyai persamaan dengan
para pekerja perkebunan itu, oleh karena kita pun telah bersalah dan menolak
utusan istimewa Allah. Siapakah utusan itu? Dengan menjelma sebagai manusia,
Allah telah mendatangi dunia kita ini dalam ujud seorang manusia, yang bernama
Isa Al-Masih, yaitu Kalam Allah. Kita menolak-Nya padahal kedatangan-Nya adalah
untuk membantu kita, supaya hubungan kita dengan Allah yang terputus dapat diperbaiki
kembali. Kedatangan-Nya ke dunia adalah untuk melunasi hutang dosa kita, untuk
membebaskan kita dari belenggu dan perbudakan dosa. Tetapi umat manusia pada
umumnya telah menolak Dia sebagai jembatan keselamatan untuk meninggalkan dosa.
Sama seperti orang-orang Yahudi yang hidup 2.000 tahun yang lalu, yang langsung
bertatap muka dengan Isa Al-Masih sendiri, kita yang hidup di masa kini juga
telah menolak Dia. Bahkan kita enggan untuk mendengar mengenai peristiwa
sejarah yang mencatat bahwa Ia telah mati disalibkan karena dosa-dosa kita.
Pada hakekatnya, kebanyakan manusia tidak mau tunduk kepada kedaulatan Allah,
yang diungkapkan melalui Isa Al-Masih itu.
Tetapi ada sesuatu yang dilakukan
oleh Isa Al-Masih, yang tidak mungkin dilakukan oleh Rachmat Hidayat. Setelah
mati di kayu salib dan dikuburkan selama tiga hari, akhirnya Isa Al-Masih
bangkit dari alam maut. Kini Isa Al-Masih telah hidup kembali, dan selama 2.000
tahun belakangan ini Ia tiada henti-hentinya menghimbau supaya semua manusia
bertobat dari dosa-dosa mereka dan menerima pertolongan-Nya sebagai
Juruselamat, supaya terhindar dari hukuman api neraka yang kekal. Di dalam
Injil yang Kudus, Al-Masih berkata: "Aku memberikan hidup yang kekal
kepada mereka [yang menyambut Aku] dan mereka pasti tidak akan binasa sampai
selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tanganKu"
(Injil Yohanes 10:28). Dikatakan juga di dalam Firman Allah, "Ia
sendiri [Isa Al Masih] telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu
salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk
kebenaran...." (Surat I Petrus 2:24). Tetapi sampai sekarang
pun, berjuta-juta orang di seluruh dunia masih tetap menolak Dia sebagai
harapan dan jalan keluar mereka satu-satunya untuk diselamatkan dari kutuk
dosa. Sungguh suatu penolakan yang mengherankan!
Sumber : http://www.isadanislam.com/
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentar dengan baik untuk kemajuan dan penambahan wawasan kita.
tidak menerima komentar sara, pelecehan dan yang melanggar HAM dan privasi seseorang